Rabu, 14 Maret 2012

Orientasi Pendidikan Indonesia Harus Diubah

Beberapa bulan lalu para pelajar SD hingga SMA sudah memasuki masa-masa liburan sekolah. Bahkan, beberapa sudah memasuki semester baru. Liburan adalah masa dimana para siswa selesai menjalani satu semester. Satu semester yang diakhiri dengan Ujian Akhir Semester (UAS).

Tatkala menghadapi UAS atau ujian lainnya, tentu semua siswa akan menyiapkan sesuatunya dengan sebaik-baiknya. Dari mulai pemahaman materi hingga ke hal yang bersifat teknis seperti peralatan yang dibutuhkan di kala ujian. Ini merupakan hal yang sudah menjadi rutinitas saat menjelang ujian.
Namun, ada hal yang miris ketika kita berbicara tentang ujian di bangku sekolah, khususnya di Indonesia. Seperti yang kita tahu, masih banyak angka kecurangan dalam setiap pelaksanaan ujian di Indonesia. Yang paling terlihat adalah di saat Ujian Nasional (UN). Selain banyak kecurangan yang dilakukan siswa dan pihak sekolah, angka ketidaklulusan pun masih relatif tinggi.

Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa; Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Bila mengacu pada fungsi pendidikan di atas, maka implementasi pendidikan di negeri ini masih sangat jauh dari predikat baik. Bisa kita lihat masih banyak siswa yang setiap harinya belajar hanya untuk mengejar nilai-nilai dari gurunya. Begitu pun dengan pihak sekolah termasuk guru, hamper sebagian besar hanya memikirkan bagaimana sekolahnya bias menjadi yang terbaik dalam hal prestasi nilai-nilai yang bersifat numeric saja. Sangat jarang stakeholder pendidikan yang memikirkan nilai-nilai lain seperti moral, etika dan spiritualitas siswa.

Dengan orientasi pendidikan yang terjadi saat ini di Indonesaia yang masih berkutat pada nilai-nilai yang berwujud numerik dan akademik saja. Sungguh sebenarnya hal ini telah bersikap munafik bagi tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang sejatinya memiliki harapan agar bisa memtransformasi manusia dari yang tidak bisa menjadi bisa, dari yang tidak mempunyai keterampilan menjadi punya keterampilan, dan seterusnya.
Fenomena ini harus kita ubah bersama-sama. Tak ada yang mustahil selama kita bersungguh-sungguh. Mari kita kembalikan konsep dan implementasi pendidikan di Indonesia sesuai tujuan dan fungsi yang sebagaimana mestinya. Jangan sampai hal ini dibiarkan berlarut-larut yang pada dasarnya akan merusak citra dan kualitas bangsa ini ke depannya. Semua harus berperan untuk menyelesaikan masalah ini. Dari mulai pemerintah yang membuat konsep dan kurikulum pendidikan yang baik, pihak sekolah yang mengejewantahkan konsep pemerintah sesuai fungsinya, hingga siswa yang senantiasa memperbaiki orientasinya tentang pendidikan dan sikapnya terkait pelaksanaannya. Dengan sinergi semua elemen, sangat mungkin pendidikan di Indonesia akan menjadi teladan bagi dunia. (Adam Habibie)

Saatnya Melirik Pasar Domestik Indonesia

Mantan Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, dalam satu kesempatan pernah menuturkan bahwa asar domestik menyumbangkan lebih dari 80% untuk pendapatan Indonesia. Sedangkan pasar ekspor hanya sekitar 20% . Fakta ini sedikit memberikan gambaran bahwa potensi pasar domestik Indonesia sangatlah luar biasa.

Indonesia adalah negara dengan potensi yang tidak biasa. Terletak diantara 2 benua strategis, Asia dan Australia. Negeri ini pun memiliki penduduk yang besar, sekitar 240 juta. Potensi ini sebenarnya mampu menjadikan Indonesia Tuan di negerinya sendiri . Namun, faktanya memang belum demikian . Bisa kita lihat bahwa sebagian besar pasar kita masih dikuasai oleh asing. Berbagai sektor-sektor strategis masih sulit bagi industry domestik untuk bisa leading menyaingi competitor-kompetitor asal luar. Tengok sektor energi, PT.Freeport, Cevron, dan kawan-kawannya masih laluasa dan terus menggerusi kekayaan alam negeri ini. hampir tidak ada industry lokal yang mampu menyaingi mereka. Bahkan, Pertamina sekalipun seolah tak berdaya di negeri sendiri. Begitu pun dengan sektor lainnya seperti industry retail. Raksasa Asing seperti Carefour, Alfamart, dan lainnya makin jauh meninggalkan jawara lokal seperti Matahari. Fenomena ini jelas-jelas kapitalis dan tidak mengedapankan rakyat. Regulasi pemerintah pun tebang pilih dan memihak asing. Asal ada uang, semua lancer. Uniknya Indonesia bukanlah negara yang menganut sistem ekonomi Liberal maupun Kapitalis.

Sudah saatnya kita tidak berlarut-larut dalam masalah ini. Bila terus dibiarkan, kita akan memasuki babak baru penjajahan modern, penjajahan ekonomi. Langkah kongkret untuk menyelesaikan ini berada di pihak pemerintah dan rakyat Indonesia. Pemerintah harus berani dan tegas dalam mengatur kebijakannya bagi keberjalanan roda ekonomi di negeri ini. Pun harus tegas kepada investor dan perusahaan asing yang masuk ke Indonesia. Apalagi perdagangan illegal yang berasal dari Negara-negara industri lain seperti China dan Amerika. Mulailah dari penetapan regulasi yang berpihak kepada rakyat. Pemerintah harus bisa memaksimalkan industri lokal dan memudahkan pemenuhan infrastrukturnya seperti peralatan, izin lahan, dan tata kelola pajak. Usaha pemerintah ini tak akan bisa maksimal tanpa disokong oleh keinginan yang kuat untuk maju dari rakyatnya. Rakyat Indonesia harus bertekad kuat untuk mencintai produk-produk lokal. Pun Rakyat yang aktif di dunia industri harus mau dan mampu melakukan inovasi dan hasil produk yang bisa bersaing secara global. Dengan kombinasi upaya ini, sangatlah mungkin Pasar Domestik akan kita maksimalkan dan kita menjadi tuan di negeri sendiri. Kita bisa. (Adam Habibie)

*Naskah ini pernah dimuat di Harian Umum Seputar Indonesia (SINDO) cetak pada edisi 17 September 2011

Belajar Dakwah dari Pedagang Asongan

“Pecel, nasi pecel telungewu mas..”
“Kacang goreng, kacang manis..”
“Aqua, mizone, air,air..”


Seruan itu, ya seruan itu amat sering saya dengar setiap kali kereta yang saya tumpangi berhenti di stasiun-stasiun sepanjang Bandung hingga Surabaya. Mereka menawarkan dagangannnya setengah berteriak. Saya mengamati setiap gerak-gerik mereka. Luar biasa, sekalipun para penumpang tidak menyambut teriakan mereka apalagi membeli, namun mereka tak bosan terus berteriak menawarkan dagangannya. Mengingat saya lapar, maka saya putuskan membeli nasi pecel, murah Cuma tiga ribu rupiah. Mereka Lelah, ya lelah pasti. Letih, tak usah kau tanya sobat. Hingga peluit masinis terdengar dan kereta perlahan bergerak meninggalkan stasiun, saya masih mendengar sayu-sayup suara mereka..

“Monggo pak, bu nasi pecelnya tigaribu..”
“kacang, kacang, sewu..”


Luar Biasa, dua belas jam perjalanan ini bagi saya memiliki beribu makna, terutama makna akan sebuah perjuangan sekelompok manusia yang tak kenal lelah. Memandang mereka membuat saya teringat saudara-saudara saya di sana, di Lembaga Dakwah Kampus.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan cara yang hikmah dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An Nahl: 125)

Dakwah adalah bagian dari Ruh Islam. dakwah secara sederhana adalah mengajak, menyeru, dan mempengaruhi manusia agar beriman kepada Allah dan meninggalkan thagut yang mengganggu. Dakwah amatlah luas. Dakwah yang dilakukan di kampus, tentu memiiki objek khusus, yaitu mahasiswa.

Dakwah tak ubahnya suatu proses marketing. 3 elemen penting di dalam dakwah, yaitu subjek, objek, dan proses. Bagaimana agar seruan kita bisa di dengar dan dilaksanakan, tentu dengan proses atau cara yang baik dan menarik. Selain tentu hanya Allah yang mampu memberikan hidayah kepada manusia.

Dalam perjalanannya, dakwah ini akan menyeleksi sendiri pejuang-pejuangnya. Jelas, Allah hanya mau memilih yang siap dan pantang menyerah, sekalipun seruan kita seringkali diabaikan. Kesabaran, mungkin itulah poin utama dalam sebuah jalan dakwah yang panjang.

Pedagang asongan tadi mengingatkan saya akan kesabaran dalam membawa risalah Islam ini. Kesabaran untuk selalu menyeru dan berjalan dari gerbong-gerbong kehidupan kita. Bagi saya, gerbong itu bagaikan kelas-kelas dan gedung-gedung di kampus tercinta. Saya membayangkan setiap dari kita tak kenal lelah menyebarkan dakwah ke setiap “gerbong-gerbong” di kampus. Lelah, ya memang lelah. Tapi, kita tidak peduli. Jika mereka, pedagang asongan mengharapkan uang untuk biaya hidup. Maka, kita hanya berharap semoga seruan kita berbuah Syurga.

Kawan,selamat berjalan di gerbong-gerbong ruang dakwah, bersabarlah dan terus bekerja!
Biar Allah, Rasul, dan orang-orang mukmin yang akan melihat kerja-kerja kita..


Gerbong Bisnis-2 kursi 16A
KA Mutiara Selatan, Bandung-Surabaya
10-11 Maret 2012